Pakai Baju Lama, Beli Buku Baru

Pakai Baju Lama, Beli Buku Baru

Oleh:
Suci Ayu Latifah*

“Minal aidzin wal faidzin. Mohon maaf lahir dan batin.”

Kutipan di atas bukan lagi kata-kata baru di telinga kita. Masyarakat kita, khususnya yang beragama islam pastilah mengenal betul dengan kutipan tersebut. Kehidupan masyarakat, khususnya beragama islam, pasti pernah bahkan sering mendengar kutipan itu dilafalkan, tepatnya di bulan syawal (lebaran). Kutipan yang sederhana sebenarnya, akan tetapi menyimpan makna yang begitu besar. Makna dari kutipan itu tidak semata-mata dilafalkan dengan lisan, melainkan diikuti pula tindakan dengan kerendahan hati –saling memaafkan segala kesalahan dan kekhilafan antar muslim.

Begitu mendengar kutipan di atas, saya teringat sebuah kebudayaan masyarakat kita. Bulan syawal atau bulan lebaran biasa masyarakat menyebutnya, identik dengan ucapan mohon maaf atas kesalahan dan kekhilafan kepada sesama di satu tahun sebelumnya. Mereka saling berjabat tangan, berpelukan, bahkan sampai meneteskan air mata karena begitu menyadari bertumpuk-tumpuk dosa yang telah mereka lakukan, baik secara sengaja maupun tidak sengaja.

Di samping budaya saling memaafkan itu, ada salah satu budaya yang paling menonjol di masyarakat kita. Budaya tersebut adalah budaya memakai baju baru. Sebenarnya, tidak tahu sejak kapan budaya ini berlangsung. Akan tetapi kepercayaan masyarakat dengan budaya membeli dan memakai baju baru sudah melekat dan membudaya kuat. Seolah-olah budaya tersebut merupakan rukun wajib layaknya shalat fardhu. Perbedaannya kalau shalat mendapat pahala dari Allah, sedangkan budaya memakai baju baru mendapat sanjungan atau pujian dari sesama. Fenomenal yang menggemaskan.

Pada dasarnya, budaya memakai baju baru bukanlah persoalan besar yang seharusnya dibahas. Akan tetapi, begitu membaca  kutipan Austin Phelps, seorang Congregational Menteri dan Pendidik Amerika, saya tertarik untuk membahasnya. Kutipan itu berbunyi seperti ini: “Pakai baju lama dan beli buku baru.”

Usai membaca kutipan tersebut, ada dua pertanyaan besar dalam diri saya. Pertanyaan pertama: bagaimana jika budaya memakai baju baru diubah menjadi memakai baju lama. Pertanyaan kedua: bagaimana jika budaya membeli baju baru diubah menjadi budaya membeli buku baru.

Dua pertanyaan di atas akan saya bahas dalam artikel ini. Pertama, budaya memakai baju baru diubah menjadi memakai baju lama. Hakikatnya budaya memakai baju baru di bulan syawal merupakan budaya yang absurd menurut saya. Mengapa harus di bulan syawal kita memakai baju baru. Bagaimana dengan bulan-bulan lainnya. Dalam persoalan ini, saya berinisiatf untuk mengubah pandangan masyarakat mengenai memakai baju baru di bulan syawal. Dalam Undang-Undang RI tidak ada suatu peraturan yang menekankan untuk memakai baju baru di bulan syawal. Begitu pula dengan aturan islam, tidak ada ajaran seperti itu.

Coba perhatikan zamannya Rasulullah, tidak ada budaya semacam itu. Justru yang mereka tonjolkan di bulan syawal adalah saling bersilahturahmi dan berjabat tangan saling memaafkan. Tidak seperti di zaman kita. Justru yang menonjol adalah budaya memakai baju baru. Efek dari budaya tersebut berdampak besar bagi mereka yang berada di perekonomian bawah. Mereka yang sebenarnya tidak mampu membeli baju, dengan bersusah payah mengumpulkan uang untuk membeli baju guna dipakai saat bulan syawal. Jika kita mau berpikir logis, tidak perlu kita memakai baju baru, toh kalau baju lama pun masih bisa dikenakan. Lebih baik uang ditabung untuk keperluan lain. Pada realitanya kalau kita jeli, ada keperluan lain yang lebih penting atau kita sebut kebutuhan primer. Salah satunya adalah makanan pokok sehari-hari, misal beras, jagung, gandum, ataupun sagu.

Untuk itu, dalam sebuah pemaknaan luas, tidak ada suatu penilaian terhadap baju baru atau baju lama. Keduanya sama saja, hanya berbeda dalam kualitas barangnya. Sayang, upaya mengubah pandangan masyarakat dalam hal ini amatlah sulit. Karena budaya ini sudah melekat lama, bahkan menjadi kewajiban khusus selain saling memaafkan itu tadi.

Kedua, budaya membeli baju baru diubah menjadi buku baru. Sebenarnya membeli baju baru adalah hak setiap orang untuk memenuhi kebutuhan fisik dan psikis. Tidak ada yang mengharuskan untuk tidak atau jangan membeli baju baru. Apabila hal ini terjadi, maka kita melakukan suatu pelanggaran besar, yaitu merampas hak asasi manusia (HAM). Akan tetapi, dalam hal ini tidak ada salahnya jika sesekali budaya membeli baju baru diubah menjadi budaya membeli buku baru.

Pada dasarnya keduanya adalah sama-sama kebutuhan manusia. Namun, berbeda di lihat berdasarkan kegunaan dan manfaatnya. Membeli baju baru berguna untuk memberikan tampilan berbeda pada tubuh, sedang manfaatnya adalah mempercantik diri. Membeli buku baru berguna untuk menambah wawasan dan ilmu pengetahuan, sedang manfaatnya mempertajam keilmuan.

Dalam kehidupan sosial, kedua objek tersebut sama pentingnya. Namun dalam konsep pemaknaan hidup, buku baru lebih menguntungkan dibanding baju baru. Mengapa hal ini terjadi? Karena (i) kekuatan buku lebih dahsyat dibandingkan kekuatan baju, (ii) buku berpotensi mengubah pandangan sosial, (iii) manfaat buku jauh lebih unggul dibanding baju, (iv) buku dapat membawa kita keliling dunia, (v) buku memberikan ruang kebebasan, (vi) buku rusak tetap bernilai, baju rusak tak ternilai, (vii) buku menunjukkan jati diri, baju menunjukkan harga diri, (viii) buku mengubah peradaban, baju mengubah perkarakteran, (ix) buku adalah jendela dunia, baju adalah jendela fasion, dan (x) buku gerbang menuju masa depan, baju gerbang menuju masa sekarang.

Ingat! Henry David Thoreau, Walden pernah mengungkapkan bahwa, “Buku adalah harta karun kesejahteraan dunia dan warisan terbaik bagi generasi muda dan bangsa-bangsa.” Untuk itu, mulai berpikirlah apa yang dapat kita lakukan dalam mensejahterakan dunia. Yuk, ciptakan budaya baru dengan pakai baju lama, beli buku baru!


Suci Ayu Latifah
Mahasiswi dan Panitia SGL STKIP PGRI Ponorogo.





Postingan terkait:

Belum ada tanggapan untuk "Pakai Baju Lama, Beli Buku Baru"

Post a Comment